Terapi Autisme

Meskipun autisme (autism spectrum disorder / ASD) sudah dilaporkan sejak 60 tahun yang lalu oleh Leo Kanner seorang psikiater asal Amerika, hingga saat ini penyebab terjadinya autisme masih sukar dijelaskan. Dengan berkemabangnya pengetahuan, autisme dewasa ini tidak hanya dipahami sebagai gangguan perkembangan yang hanya punya dimensi psikologi semata, tapi juga mulai dipahami dari aspek biologis. Autisme secara umum dicirikan sebagai gangguan yang menyebabkan terjadinya 4 macam kekurangan :
1.       Berkurangnya tingkat perkembangan anak
2.       Berkurangnya respon panca indra anak
3.       Berkurangnya kemampuan berbicara, berbahasa dan berkomunikasi
4.       Berkurangnya kemampuan dalam hal tata krama dan interaksi sosial
Kurang lebih 15 tahun yang lalu prevalensi penderita autisme di Amerika ada dalam kisaran 4-5 kejadian setiap 10,000 kelahiran. Jumlah ini meningkat dramatis sepuluh tahun sesudahnya, seperti dilaporkan oleh US Center for Disease Control  and Prevention menjadi 1 kejadian per 150 kelahiran (meningkat kira-kira 10 kali lipat). Kondisi yang sama juga dilaporkan di Canada dengan jumlah penderita 200 ribu anak, India 1 - 2 juta anak, dan China 1.5 - 3 juta anak [1].
Vijendra K. Singh seorang peneliti senior dari Brain State International Research Center berkeyakinan bahwa autisme mempunyai hubungan kuat dengan gangguan auto-immune. Beliau percaya bahwa hingga 80% kasus autisme berhubungan dengan gangguan pada sistem kekebalan otak. Dalam hipotesanya disebutkan bahwa reaksi abnormal sistem imun tersebut mengubah struktur otak terutama selubung myelin yang berfungsi mempercepat penghantaran sinyal di jaringan otak [3]. Gangguan struktural ini pada akhirnya menyebabkan 4 kekurangan di atas yang efeknya seumur hidup.
Auto-immune adalah kondisi dimana sistem kekebalan kita sendiri memberikan reaksi tidak wajar (abnormal) menyerang organ / sel-sel tubuh kita sendiri. Ciri-ciri penyakit auto-immune adalah :
1.       Biasanya berhubungan dengan gen yang mengontrol respon sistem kekebalan yang pada gilirannya menyebabkan sel limfosit T menjadi tidak normal
2.       Merangsang produksi auto-antibody (antibodi yang menyerang sel-sel tubuh kita sendiri)
3.       Biasanya dipengaruhi oleh factor hormon dan jenis kelamin
Tiga hal itu terlihat jelas dalam kasus autisme. Banyak diantara anak-anak penderita autisme menunjukkan kadar autoantibodi terhadap myelin. 80% penderita autisme adalah laki-laki dan tidak jarang dalam keluarga penderita autisme ditemukan sejarah penyakit auto-immune seperti multiple sclerosis, arthritis, diabetes tipe 2, dll. Faktor gender ini juga terlihat jelas pada kasus penyakit auto-immune lainnya seperti Lupus dan Graves’s disease [2].
Meskipun ada keterlibatan faktor genetik, Singh melihat bahwa kontribusi faktor genetik tidak bersifat langsung dan lebih dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti virus, vaksin, kimia beracun (toxin) maupun faktor-faktor lain yang belum diketahui.
Teori baru : Mekanisme autoimmune menjadi penyebab autisme
Lebih dari 25 tahun yang lalu tim riset professor Singh mengemukakan hipotesa bahwa faktor eksternal (seperti virus) mampu memicu reaksi imunitas pada otak yang bisa menyebabkan kerusakan struktural. Pola terjadinya autisme dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut :

Faktor Lingkungan (infeksi virus / antigen / toxin) à Reaksi Immune abnormal à Autisme

Fakta-fakta yang menunjukkan tidak normalnya sistem kekebalan pada anak autis :
1.       Sistem imun anak autis menunjukan “over reaction” terhadap virus dan vaksin campak dan vaksin MMR (measles, mumps, rubella) yang dikaitkan dengan produksi auto-antibody terhadap myelin
2.       Anak autis mempunyai jumlah limfosit, T helper, NK (sel pembunuh kanker) di bawah standar
3.       Anak autis menunjukkan respon positif terhadap terapi autoimmune seperti autoantigen, intravenous immunoglobulin dan transfer factor [1]
Dalam percobaan yang dilakukan untuk membuktikan kaitan antara auto immune dan autisme, Singh menggunakan metode virus serology. Virus serology adalah metode yang bisa diandalkan untuk mengukur seberapa besar respon sistem kekebalan terhadap virus yang menyerang manusia. Respon sistem kekebalan ditunjukkan oleh seberapa banyak antibodi diproduksi setelah injeksi virus / vaksin dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan respon yang signifikan terhadap virus campak. Dibandingkan anak normal, anak autis menunjukkan respon hyper-immune terhadap virus campak, hal ini terlihat dari banyaknya jumlah antibody yang dihasilkan. Respon yang serupa didapatkan pada percobaan dengan vaksin MMR (ada elemen campak atau measles pada vaksin MMR).
P1 - Respon anak autis terhadap virus campak


P2 - Respon anak autis terhadap vaksin MMR (measles, mumps, rubella)
Pengobatan berbasis modulasi immune pada penderita autisme
Keyakinan Professor Singh bahwa autisme sangat terkait dengan imunitas adalah karena pasien autisme memberikan respon positif terhadap terapi imunitas, terapi yang bertujuan memberikan kesetimbangan sistem imun. Salah satu pengobatan yang disebutkan dalam publikasi Singh adalah transfer factor. Professor Singh menjelaskan bahwa transfer factor mengatur sel NK (singkatan dari natural killer, sel alami pembunuh kanker) dan limfosit T pada saat terjadi infeksi mikroba atau virus. Studi menunjukkan bahwa anak autis menunjukkan peningkatan setelah diberikan RioVida (4Life Research). Orang tua pasien juga melaporkan meningkatnya kemampuan berbahasa, interaksi sosial, tidur, konsentrasi selain peningkatan kesehatan yang baik secara umum yang bisa jadi disebabkan karena berkurangnya infeksi.

P3 - Cuplikan publikasi tentang transfer factor
Selain transfer factor, pengobatan sejenis yang boleh dicoba adalah terapi immunoglobulin, terapi auto-antigen, dll.
Referensi
2.       Auto Immunity, Vaccines and Autism – Healing Arts (Forum Terapi Alternatif dan Inovatif untuk anak dengan gangguan perkembangan, cedera otak dan gangguan saraf)
3.       Myelin Sheath – Wikipedia

0 komentar:

Posting Komentar

More

Whats Hot